Halaman

Selasa, 05 Mei 2015

Ke Bali



     Ini adalah sebenarnya kisah. Meski telihat semacam fiktif, tapi percayalah, ini ada dan benar-benar terjadi. Adalah seorang teman yang sangat ingin membahagiakan istrinya. Karena sejak menikah , ia belum pernah mengajak istrinya berbulan madu. Hingga suatu ketika ia mendapati iklan di sebuah koran harian.
     Sebuah maskapai penerbangan yang menawarkan tiket keberangkatan Jakarta-Bali hanya sebesar Rp 2000,- saja. Yes! Ini adalah kesempatannya untuk mengajak istri ke Bali dengan modal cekak.
“Daripada harus jalan-jalan di mal, toh bayar parkirnya juga Rp 2000,- juga, mendingan ke Bali sekalian,” begitu pikirnya.
Pikirannya segera melayang ke pualau dewata itu. Ia membayangkan ke sana bersama istrinya yang baru ia nikahi beberapa bulan itu. Ia sudah menyiapkan episode kemesraan bersama istrinya saat berjalan-jalan di pantai Kuta. Dan tentunya ia juga ingin sekali melihat bule-bule telanjang yang berjemur di sana.
Maka, tanpa berpikir panjang teleponlah ia ke call center maskapai ini.
“Mbak, ini benar, ke Bali Cuma Rp 2000,-?”
“Benar,pak. Bapak mau rencana ke Bali?” sang petugas balik bertanya.
“Benar, Mba. Untuk dua orang ya.”
“Baik,Pak. Rencana berangkat kapan, Pak?” Kembali petugas ini bertanya.
“Besok minggu.” Jawab si teman singkat.
“Baik, sebentar saya cek ya, Pak.”
Hingga episode ini, ia semakin berdebar saja menunggu petuga mengecek kursi keberangkatan.
Sesaat kemudian.
“Terimakasih telah menunggu, Pak. Tapi mohon maaf, untuk keberangkatan hari minggu depan ini sudah penuh ,Pak”
“Waduh, sudah penuh ya?”
“Betul, Pak. Mau coba di hari lain barangkali, Pak?” Lanjut petugas menawarkan.
“Wah, saya bisanya cuma di hari libur, Mba. Coba cek hari minggu depannya lagi. Bisa?”
“Oh, baik, Pak.”
Sesaat kemudian terdengar suara petugas dari ujung telepon,
“Terimakasih telah menunggu, Pak. Maaf, Pak, untuk keberangkatan hari minggu depan juga sudah penuh ,Pak.”
“Waduh! Laku banget kalau begitu ya?” jawab teman ini sedikit kecewa.
“Begitulah, Pak.”
“E... kalau begitu, tolong Mba carikan lagi di tanggal merah yang masih ada kursi kosongnya. Yang penting hari libur! ” kata teman ini pantang menyerah.
Sejenak akemudian,
“Terimakasih telah menunggu, Pak. Untuk kursi yang kosong ada di tanggal 5, Pak. Tapi tinggal dua saja. Bagaimana,Pak?”
“Ok. Saya ambil dua!” Jawabnya setengah berteriak.
*  *  *
     Maka di hari yang telah ditunggu itu, dengan bekal yang sangat banyak dan dikemas dalam beberapa tas besar, sang teman ini berangkat ke bandara bersama istri. Namun ia heran setelah chek-in dan tiket ia terima, ternyata tiket mereka ini tidak ada nomor kursinya.
“Ma, hari ini kita mengetahui sesuatu yang baru,” katanya kepada istri.
“Sesuatu yang baru apa, Pa?” istrinya balik bertanya.
“Ternyata tiket yang harganya dua ribu itu nggak pakai nomor kursi ya?” katanya.
“Iya ya, Pa. Ini pesawat apa metro mini ya?” istrinya ber-retorika.
Mbuh lah.. yang penting ke Bali!”
    Dan benar saja, begitu masuk pesawat seluruh penumpang berebut kursi. Kekacauan pun terjadi, pramugari pun dibuat tak berkutik. Seluruh penumpang riuh rendah bergemuruh berebut kursi. Beruntung teman saya ini bisa duduk berdampingan dengan sang istri.
Sejenak kemudian kembali ia bawa angan-angannya ke pulau Bali dengan segenap keindahan pantai Kuta-nya. Dan lagi-lagi, yang berkelindan dalam otaknya adalah bule-bule yang berjemur sambil bertelanjang itu. Betapa beribu cerita dan aktivitas telah ia siapkan begitu sampai di sana.
     Namun ceritu selanjutnya ternyata jauh dari skenarionya.
Pesawat mendarat di Bali sudah jam 8 malam. Keindahan Kuta yang selama ini ia bayangkan, tak bisa sepenuhnya ia nikmati. Karena serba gelap.
“Balik ke hotel saja, yu, Pa. Besok ke sini lagi. Pemandangannya pasti lebih indah. Pagi sampai siang kita puas-puasin deh. Sorenya, baru kita balik ke Jakarta,” hibur istrinya.
     Kembalilah mereka ke hotel dengan membungkus kekecewaan malam itu, sekaligus mengumpulkan bekal kebahagiaan esok hari.
Malam itu mereka mengumpulkan segenap bayangan keindahan Bali di siang hari.
Hingga esok pun tiba....
“Ma, ayo kita keluar hotel? Jalan-jalan kita! Mumpung hari sedang cerah!” Ujar sang teman ini bersemangat.
“Yap! Siap!” sahut istrinya tak kalah semangat.
     Di sekitar pukul enam pagi itu, udara segar sekali menyapa mereka saat mereka membuka kamar hotel.
Namun begitu mereka sampai di lobby hotel, pemandangan kurang biasa mereka lihat. Seluruh lampu di lobby itu dipadamkan padahal tidak ada pemadaman listrik.
Namun sebelum teman saya dan istrinya ini menemukan jawaban tentang lampu-lampu yang padam itu, tepat sesaat mereka menuju pintu utama hotel untuk keluar, tiba-tiba terdengarlah pengumuman dari speaker hotel yang terdengar seantero hotel. Begini kira-kira bunyi pengumuman itu:

“KEPADA SELURUH PENGHUNI HOTEL, TANPA KECUALI, DIHARAPKAN KEMBALI KE KAMAR MASING-MASING DAN BERAKTIVITASLAH DI DALAM KAMAR SAJA. KARENA INI ADALAH HARI BESAR NYEPI !”



*    *    *

Senin, 16 Maret 2015

Magnet Syukur




Rumah saya kecil adanya. Di dalamnya saya hidup bersama istri dengan ketiga anak yang semakin besar saja. Semakin besarnya mereka, seakan-akan rumah kami ini menjadi menyempit saja rasanya. Belumlah lagi ketiga adik kakak ini yang sedang dalam fase aktif tingkat paripurna. Si kakak yang gemar menggambar tapi selalu membiarkan krayon-krayonnya tercecer di sana-sini. Sedang si kedua adik yang sedang banyak bereksplorasi dengan lingkunganya. Tak ayal tembok rumahku ini penuh dengan sentuhan anak-anak kami. Berwarna-warni pula. Tembok-tembok inilah yang mendadak menjadi kanvas raksasa bagi mereka. Sepertinya tidak ada sejengkal tembokpun yang luput dari jarahan krayon anak-anak kami ini. Untuk mengurusi ketiga buah hati ini pasti sangat melahkan, hingga tak bijak juga jika saya menyalahkan istri tak mampu menata ruang rumah kami ini.
Maka jika saya pulang kerja dengan membawa kepenatan ekstra, kemudian begitu membuka pintu kudapati rumah kecil ini semacam perahu tak bernahkoda yang habis terhempas karang. Kacau dan berantakan sekali. Seluruh mainan berhamburan di sekujur ruang rumah. Bukan itu saja, masih banyak benda-benda yang salah tempat. Ada sarung lusuh yang menggantung di handle pintu, ada bekas ompol si adik yang masih menggunung di sudut dinding, kutang istri yang bertengger di kursi komputer, jemuran setengah kering yang menumpuk di sofa, dan seragam si kakak yang masih tergeletak di lantai sejak pulang sekolah siang tadi.
Mendadak aku menjadi berpikir betapa merananya rumah kecil ini. Sudah lah kecil masih dijejali dengan kesemerawutan tingkat kolosal pula.
* * *
Hingga pada suatu kesempatan, dalam sebuah perjalanan. Saya menyempatkan untuk menapak tilas tempat kami mengontrak rumah dulu. Kontrakan ini terletak di lorong sempit di sebuah gang. Ia hanya tersekat dengan tiga ruang yang sempit, sesak, lembab dan pengap.
Di kontrakan sesempit ini, jika ada satu tikus saja yang masuk pasti mendadak menjadi malapetaka yang begitu besar. Semua yang kami pegang tiba-tiba melayang demi mengusir tikus sial ini. Dan begitu tikus ini benar-benar pergi, kemudian kami mendapati rumah kontrakan ini mengalami kesemrawutan yang masif. Kisah ini semakin menegaskan hubungan saya dengan hewan pengerat ini adalah hubungan yang saling mendestruksi. Saling  menghancurkan. Cerita tentang tikus-tikus sial ini akan saya ceritakan di esai yang lain.
Segala kenangan tentang rumah kontrakan itulah yang sedang saya rekontruksi kembali ketika motor saya arahkan menuju gang kontrakan kami dulu. Dan begitu gang ini saya masuki segera disusul dengan degup jantung yang memburu. Napas tiba-tiba menyesak. Tidak banyak yang berubah dengan gang ini. Kontrakan itu pun mungkin sudah berganti berpuluh penghuni. Kenangan bertahun lalu kembali  berkelindan di benak.
Di jalan ini dulu setiap pagi saya dorong troli si sulung untuk menghirup udara sampai ia tertidur, sementara ibunya menyiapkan sarapan. Di warung pojok lapangan itu biasa kami berlanja urusan dapur. Segenap kenangan itu makin jelas tergambar kembali. Dan lorong menuju rumah kontrakan ini masih saja kecil, lembab dan pengap. Di lorong yang menanjak itulah motor saya seringkali tergelincir.
Kali ini napas saya benar-benar semakin sesak. Tak betah lama saya di sana untuk segera melaju pulang.
Dan begitu sampai di halaman rumah, napas sudah jauh menjadi normal dan tenang. Berjarak belasan meter dari rumah saya ini, hati saya sudah sangat tenang. Rumah saya ini tetap saja kecil adanya, tetapi kedamaiannya telah ia pancarkan. Begitu pintu saya buka, rumah ini memang masih berantakan pula, tetapi ketenangan segera menyambut menghampiri. Betapa di dalam rumah ini kami telah hidup menyejarah bersama. Rumah ini kami isi dengan perabot hasil rupiah yang kami kumpulkan; setumpuk demi setumpuk.
Pada rumah inilah kemudian kami tanam sebuah magnet berkekuatan besar bernama rasa syukur dan kerinduan. Sehingga kemanapun saya pergi tiada rasa lain selain rindu untuk kembali ke rumah. Semakin jauh saya pergi semakin kuat pula magnet ini menarik saya untuk segera kembali.
Saya seringkali menghadiri seminar-seminar dan rapat dengan fasilitas hotel berbintang di berbagai kota. Tetapi kualitas kasur di hotel-hotel ini kalah damai dengan lantai di rumah yang siap kapan saja menerima tubuh saya untuk merebahkan diri. Dalam kondisi seperti ini seringkali anak-anak menghampiri dan duduk bercanda di punggung yang penat. Pada momen seperti itulah kemudian kami tanam benih kerinduan semakin banyak.
Riuhnya teriakan dan tertawa anak-anak serta teh hangat yang selalu tersaji setiap pagi adalah beberapa diantara magnet itu.
Rumput-rumput gajah mini yang saya tanam, adalah sebagian dari rumah kami yang siap menyapa setiap saya membuka pintu pagi. Dan saya bisa jongkok berlama-lama bersama mereka, mengairi mereka dan mencabuti rerumputan liarnya. Ini adalah keasyikan yang tak tergantikan. Di waktu pagi biasanya datang berseliweran para pedagang. Ada yang jual roti, bubur ayam, ketupat sayur. Kami terbiasa saling sapa, meski saya jarang membelinya.
Dengan begitu banyak kedamaian yang tersedia di rumah ini, mendadak rumah ini menjadi semakin besar dibanding rumah kontrakan kami dulu dan menjadi terlalu kecil untuk menampung segenap perasaan romantisme kami dalam berkeluarga.
Dan begitulah manusia.... Mereka seringkali terlalu panjang angan-angan sehingga lupa untuk bersyukur atas apa yang telah mereka dapatkan.

Jumat, 06 Maret 2015

Benar Tapi Tak Berhubungan



     Pada suatu kesempatan saya mendatangi sebuah bank untuk keperluan pembuatan kartu ATM baru guna menggantikan ATM lama yang sudah kedaluwarsa.
Setelah mengisi beberapa data dalam form, dengan segera petugas customer service memprosesnya.
     Sejenak kemudian ia kembali dan mengkonfirmasi beberapa data, salah satunya tentang nomor telepon rumah saya.
     “Mohon maaf, Pak, ini tadi kami coba hubungi telepon Bapak kok
       tidak tersambung ya?”
     “Oh iya.. memang. Karena beberapa hari ini line-nya sedang ada 
       gangguan,” jawab saya menjelaskan.
     “Lho, di rumah saya juga sedang ada gangguan, Pak?”
     “Oh iya? Dimana Mbak tinggal?”
     “Di Pamulang.” Jawabnya singkat.
     “Saya di Ciputat. Di Ciputat sudah tiga hari ini gangguan. Di
       Pamulang sudah berapa lama, Mbak?” Saya melanjutkan tanya.
     “Saya di Pamulang sejak kecil, Pak.”